Senin, 20 April 2009

Kebudayaan Sunda


Sebelum membahas tentang kebudayaan Sunda secara khusus, maka akan dibahas terlebih dahulu mengenai kebudayaan secara umum. Pembahasan mengenai kebudayaan secara umum terdapat dalam buku yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan karya Koentjaraningrat (2000), dalam buku tersebut disebutkan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi dan mempunyai arti “budi” atau “akal”. Dari asal katanya tersebut, dapat diartikan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan budi dan akal. Berdasarkan arti epistemologi dari kata budaya tersebut, Koentjaraningrat berpendapat tentang definisi dari kebudayaan, yaitu:

“Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu” (2000: 9).

Dari pendapat Koentjaraningrat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya dari pemikiran manusia yang berguna untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya dan merupakan cara manusia untuk berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya untuk bisa bertahan hidup tersebut, diperoleh dengan cara pembelajaran. Pernyataan dari Koentjaraningrat tersebut senada dengan pernyataan MacIver yang dikutip oleh Soekanto (1990) dalam buku yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, yaitu:

“Kebudayaan merupakan ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi, dan hiburan” (1990: 304).

Dengan kata lain konsep kebudayaan mencakup semua yang diperoleh dan dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, kebudayaan itu mencakup cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Kebudayaan sangat berguna bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan manusia dengan manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan dan pikiran manusia.
Selain memaparkan tentang definisi kebudayaan secara umum, Kontjaraningrat juga memaparkan tentang wujud-wujud dari kebudayaan. Dalam bukunya tersebut, Koentjaraningrat (2000: 5) membagi kebudayaan ke dalam tiga wujud, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan yang pertama ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya berada di dalam kepala-kepala warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup, atau dengan kata lain berada di dalam pikiran setiap individu dari masing-masing pelaku kebudayaan tersebut. Kebudayaan ideel ini dapat disebut adat tata kelakuan (adat dalam arti khusus, adat istiadat dalam arti jamak). Tata kelakuan menunjukan bahwa kebudayaan ideel biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang disebut kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling kongkrit dan berupa benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Tiga wujud kebudayaan yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat di atas, disederhanakan kembali oleh Soekmono (2008), dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Kebudayaan indonesia 1. Menurut Soekmono (2008 a: 9) pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi yang tidak bisa dilepaskan hubungannya satu sama lain, yaitu:
1. Segi kebendaan atau materi, yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasil-hasil kebudayaan pada segi kebendaan dan materi ini dapat diraba.
2. Segi kerohanian atau nonmateri, terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tidak dapat diraba, hanya penjelmaannya saja dapat difahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan.
Pendapat Soekmono diatas diperdalam lagi oleh Paul. B. Horton dan Chester. L. Hunt (1991) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi jilid I, dalam pembahasan mengenai konteks kebudayaan pada buku tersebut, dijelaskan bahwa kebudayaan nonmateri merupakan cikal bakal dari kebudayaan materi. Kebudayaan yang bersifat materi atau kebendaan muncul dari suatu gagasan, dan gagasan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan nonmateri. Selain itu, dalam buku ini juga dijelaskan tentang kebudayan sebagai suatu sistim norma, dalam suatu kebudayaan terdapat berbagai macam aturan yang mencerminkan pola kehidupan dan asusila masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, seperti kebiasaan, tata kelakuan, lembaga, hukum, dan nilai yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terkadang sistim norma yang ada dalam suatu kebudayaan mempunyai sifat memaksa, karena tidak selamanya kebudayaan itu sesuai dengan keinginan dan jalan pikiran setiap individu dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Dalam buku yang berjudul Sosiologi Suatu Pengatar karya Bruce. J. Cohen (1992), diterangkan bahwa pada setiap kebudayaan terdapat bagian yang disebut dengan Subcultur, Counterculture, dan Cultural Integration. Yang dimaksud dengan subcultere tersebut adalah suatu kelompok yang lebih kecil dari pada masyarakat (Cohen,1992: 52). Subcultur tersebut masih mempunyai hubungan dengan kebudayaan yang lebih besar, karena masih mempunyai sebagian dari norma-norma yang ada dalam kebudayaan, namun Subcultur berbeda dengan yang lainnya karena memiliki norma-norma tersendiri. Sedangkan kelompok yang menetang norma-norma yang ada dalam suatu kebudayaan dan tujuan dari kebudayaan disebut dengan Counterculture. Yang menerima seluruh norma yang ada dalam suatu kebudayaan serta tujuan dari kebudayaan tersebut disebut dengan Culture Integration.
Karena luasnya makna dari konsep kebudayaan, maka Koentjaraningrat (2000: 2), memecah konsep kebudayaan ke dalam unsur-unsurnya. Unsur-unsur terbesar dan bisa ditemukan dalam setiap kebudayaan yang ada di dunia disebut dengan unsur-unsur universal, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur universal dari kebudayan tersebut menunjukan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Unsur-unsur universal dari kebudayaan tersebut oleh Ralph Linton, dapat dijabarkan kembali dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan menyebutnya sebagai kegiatan-kegiatan kebudayaan atau Cultural Activities. Kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut mempunyai unsur tersendiri yang disebut dengan trait-complex. Selanjutnya trait-complex tersebut dapat dipecah-pecah lagi menjadi unsur kebudayaan yang paling kecil dan disebut Items (Linton dalam Soekanto, 1990: 176-177).
Melihat unsur-unsur kebudayaan yang telah diuraikan di atas, upacara adat ngalaksa ini dapat dikatakan sebagai sebuah kebudayaan, karena dalam upacara adat ngalaksa ini terdapat unsur-unsur universal dari kebudayaan. Upacara adat ngalaksa pada intinya adalah suatu cara untuk menghormati dan berterimakasih kepada Tuhan YME karena telah di beri hasil panen yang berlimpah, dengan demikian upacara adat ngalaksa dapat tergolong kepada sistem religi atau upacara keagamaan. Selain itu, di dalam upacara adat ngalaksa juga terdapat berbagai simbol-simbol sosial secara tersirat yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
Pembahasan mengenai kebudayaan Sunda terdapat dalam buku Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) Jilid I karya Edi S.Ekadjati (2005), dalam buku ini dijelaskan tentang kebudayaan dan adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Sunda melalui pendekatan sejarah. Menurut R.W.Van Bammelan dalam Edi S.Ekadjati (2005: 1-2), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur. Pendapat dari R.W.Van Bammelan tentang Sunda tersebut lebih mengacu kepada letak geografis suatu wilayah yang di mulai dari Kepulauan Filipina sampai ke Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dalam buku-buku tentang ilmu bumi juga dikenal istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Yang dimaksud Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah deretan pulau yang berukuran lebih kecil dan terletak di sebelah timur Pulau Jawa, dimulai dari Pulau Bali di sebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi Pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Samba, Roti dan lain-lain.
Menurut data sejarah, istilah Sunda adalah nama suatu kerajaan yang berada di bagian barat Pulau Jawa. Hal tersebut dapat dilihat pada sebuah prasasti yang bernama Prasasti Juru Rukyan Juru Pangambat, berangka tahun 854 Saka (932 M), ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor (Ekadjati, 2005: 2). Prasasti yang berbahasa melayu kuna ini menyebutkan:...ba[r] pulihkan haji Sunda... Bagian kalimat ini dapat diterjemahkan: “memulihkan Raja Sunda” (Notosusanto, 1993: 356).
Kerajaan Sunda ini mengalami beberapa kali perpindahan pusat kerajaan, perpindahan tersebut dikarenakan beberapa alasan seperti ekonomi, keamanan, politik, dan bencana alam atau hal lainnya. Sehingga yang menjadi terkenal pada Kerajaan Sunda ini adalah nama-nama ibukotanya saja, terutama yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda tersebut. Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1993) dalam buku Sejarah Nasioanal Indonesia II, yaitu:

“Sebenarnya di Jawa Barat hanya terdapat sebuah kerajaan saja setelah keruntuhan kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad VII Masehi, sedangkan nama-nama yang sekarang dianggap sebagai nama kerajaan, adalah nama ibukota atau pusat kerajaan tersebut” (1993: 355).

Kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat seperti, Kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran adalah nama-nama pusat pemerintahan saja. Sedangkan kerajaan yang sesungguhnya adalah bernama kerajaan Sunda.
Dalam perkembangan lain pada saat sekarang, istilah Sunda digunakan pula untuk menyebut sekolompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Orang Sunda adalah orang yang mengakui dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda (Warnaen dalam Ekadjati, 2005: 7). Orang Sunda bisa dikatakan orang Sunda jika mempunyai hubungan darah atau keturunan dari orang Sunda itu sendiri, atau dibesarkan di lingkungan sosial-budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kebudayaan Sunda adalah kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah Sunda (Ekadjati, 2005: 8).
Upacara adat ngalaksa termasuk kepada Kebudayaan Sunda, karena upacara adat ngalaksa ini berada di daerah Kecamatan Rancakalong yang merupakan bagian dari Kabupaten Sumedang. Sedangkan Sumedang itu sendiri merupakan bekas wilayah dari kerajaan Sunda, karena sesudah kerajaan Sunda runtuh, wilayahnya terbagai atas: Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh, yang masing-masing berdiri sediri (Ekadjati, 2005: 7). Sumedang Larang dan Galuh kemudian menjadi satu wilayah kesatuan dengan nama Priangan. Selain itu, dalam upacara adat ngalaksa juga terdapat pantun-pantun yang menggunakan bahasa Sunda asli, dan seluruh aspek yang ada dalam upacara tersebut semuanya bernuansa Sunda.
Pembahasan selanjutnya mengenai kebudayaan Sunda ada pada tulisan Harsojo (2004) yang berjudul Kebudayaan Sunda. Tulisan Harsojo tersebut terdapat pada buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, yang dieditori oleh Koentjaraningrat. Dalam tulisan tersebut pembahasan Kebudayaan Sunda dilakukan dengan cara mengidentifikasi bahasa dan kesusastraannya. Karena dengan mengidentifikasi hal tersebut, Harsojo dapat menarik suatu kesimpulan bahwa Kebudayaan Sunda telah tergambarkan dalam bahasa, cerita, sastra, dan keseniannya. Dengan melihat bahasa dan keseniannya, dan dari sikapnya sehari-hari dapat kita gambarkan tipe ideal orang Sunda sebagai manusia yang optimis, suka dan mudah gembira, memiliki watak terbuka, tetapi sering bersifat terlalu perasa, sehingga tampak sebagai orang yang sedang pundung (Harsojo dalam Koentjaraningrat, 2004: 310).
Kebudayaan Sunda ini bersifat turun-menurun dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Dengan demikian Kebudayaan Sunda tersebut merupakan warisan yang diturunkan dari nenek moyang orang Sunda itu. Seperti kebudayaan yang lain, kebudayaan Sunda juga merupakan kekayaan akal budi yang dihasilkan suatu generasi yang dapat dikembangkan oleh generasi itu sendiri dan generasi selanjutnya (Saini dalam Nalan, 1998: 2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar