Senin, 20 April 2009

Kebudayaan Sunda


Sebelum membahas tentang kebudayaan Sunda secara khusus, maka akan dibahas terlebih dahulu mengenai kebudayaan secara umum. Pembahasan mengenai kebudayaan secara umum terdapat dalam buku yang berjudul Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan karya Koentjaraningrat (2000), dalam buku tersebut disebutkan bahwa kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu Buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari Buddhi dan mempunyai arti “budi” atau “akal”. Dari asal katanya tersebut, dapat diartikan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan budi dan akal. Berdasarkan arti epistemologi dari kata budaya tersebut, Koentjaraningrat berpendapat tentang definisi dari kebudayaan, yaitu:

“Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu” (2000: 9).

Dari pendapat Koentjaraningrat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan merupakan hasil karya dari pemikiran manusia yang berguna untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya dan merupakan cara manusia untuk berhubungan dengan masyarakat di sekitarnya. Kemampuan manusia dalam beradaptasi dengan lingkungannya untuk bisa bertahan hidup tersebut, diperoleh dengan cara pembelajaran. Pernyataan dari Koentjaraningrat tersebut senada dengan pernyataan MacIver yang dikutip oleh Soekanto (1990) dalam buku yang berjudul Sosiologi Suatu Pengantar, yaitu:

“Kebudayaan merupakan ekspresi jiwa yang terwujud dalam cara-cara hidup dan berpikir, pergaulan hidup, seni kesusastraan, agama, rekreasi, dan hiburan” (1990: 304).

Dengan kata lain konsep kebudayaan mencakup semua yang diperoleh dan dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat, kebudayaan itu mencakup cara-cara atau pola-pola berpikir, merasakan, dan bertindak. Kebudayaan sangat berguna bagi manusia, yaitu untuk melindungi diri terhadap alam, mengatur hubungan manusia dengan manusia dan sebagai wadah dari segenap perasaan dan pikiran manusia.
Selain memaparkan tentang definisi kebudayaan secara umum, Kontjaraningrat juga memaparkan tentang wujud-wujud dari kebudayaan. Dalam bukunya tersebut, Koentjaraningrat (2000: 5) membagi kebudayaan ke dalam tiga wujud, yaitu:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan dan sebagainya. Wujud kebudayaan yang pertama ini bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau difoto. Lokasinya berada di dalam kepala-kepala warga masyarakat dimana kebudayaan itu hidup, atau dengan kata lain berada di dalam pikiran setiap individu dari masing-masing pelaku kebudayaan tersebut. Kebudayaan ideel ini dapat disebut adat tata kelakuan (adat dalam arti khusus, adat istiadat dalam arti jamak). Tata kelakuan menunjukan bahwa kebudayaan ideel biasanya juga berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat yang disebut sistem sosial. Sistem sosial ini terdiri dari berbagai aktivitas manusia yang saling berinteraksi, berhubungan serta bergaul satu dengan yang lain dan selalu mengikuti pola-pola tertentu berdasarkan adat tata kelakuan.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia yang disebut kebudayaan fisik. Kebudayaan fisik merupakan seluruh hasil fisik dari aktivitas, perbuatan, dan karya semua manusia dalam masyarakat, sehingga sifatnya paling kongkrit dan berupa benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan difoto.
Tiga wujud kebudayaan yang dipaparkan oleh Koentjaraningrat di atas, disederhanakan kembali oleh Soekmono (2008), dalam bukunya yang berjudul Pengantar Sejarah Kebudayaan indonesia 1. Menurut Soekmono (2008 a: 9) pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai dua segi yang tidak bisa dilepaskan hubungannya satu sama lain, yaitu:
1. Segi kebendaan atau materi, yang meliputi segala benda buatan manusia sebagai perwujudan dari akalnya. Hasil-hasil kebudayaan pada segi kebendaan dan materi ini dapat diraba.
2. Segi kerohanian atau nonmateri, terdiri atas alam pikiran dan kumpulan perasaan yang tersusun teratur. Keduanya tidak dapat diraba, hanya penjelmaannya saja dapat difahami dari keagamaan, kesenian, kemasyarakatan.
Pendapat Soekmono diatas diperdalam lagi oleh Paul. B. Horton dan Chester. L. Hunt (1991) dalam bukunya yang berjudul Sosiologi jilid I, dalam pembahasan mengenai konteks kebudayaan pada buku tersebut, dijelaskan bahwa kebudayaan nonmateri merupakan cikal bakal dari kebudayaan materi. Kebudayaan yang bersifat materi atau kebendaan muncul dari suatu gagasan, dan gagasan tersebut merupakan bagian dari kebudayaan nonmateri. Selain itu, dalam buku ini juga dijelaskan tentang kebudayan sebagai suatu sistim norma, dalam suatu kebudayaan terdapat berbagai macam aturan yang mencerminkan pola kehidupan dan asusila masyarakat pendukung kebudayaan tersebut, seperti kebiasaan, tata kelakuan, lembaga, hukum, dan nilai yang dimiliki oleh masyarakat tersebut. Terkadang sistim norma yang ada dalam suatu kebudayaan mempunyai sifat memaksa, karena tidak selamanya kebudayaan itu sesuai dengan keinginan dan jalan pikiran setiap individu dalam masyarakat pendukung kebudayaan tersebut.
Dalam buku yang berjudul Sosiologi Suatu Pengatar karya Bruce. J. Cohen (1992), diterangkan bahwa pada setiap kebudayaan terdapat bagian yang disebut dengan Subcultur, Counterculture, dan Cultural Integration. Yang dimaksud dengan subcultere tersebut adalah suatu kelompok yang lebih kecil dari pada masyarakat (Cohen,1992: 52). Subcultur tersebut masih mempunyai hubungan dengan kebudayaan yang lebih besar, karena masih mempunyai sebagian dari norma-norma yang ada dalam kebudayaan, namun Subcultur berbeda dengan yang lainnya karena memiliki norma-norma tersendiri. Sedangkan kelompok yang menetang norma-norma yang ada dalam suatu kebudayaan dan tujuan dari kebudayaan disebut dengan Counterculture. Yang menerima seluruh norma yang ada dalam suatu kebudayaan serta tujuan dari kebudayaan tersebut disebut dengan Culture Integration.
Karena luasnya makna dari konsep kebudayaan, maka Koentjaraningrat (2000: 2), memecah konsep kebudayaan ke dalam unsur-unsurnya. Unsur-unsur terbesar dan bisa ditemukan dalam setiap kebudayaan yang ada di dunia disebut dengan unsur-unsur universal, yaitu sebagai berikut:
1. Sistem religi dan upacara keagamaan
2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan
3. Sistem pengetahuan
4. Bahasa
5. Kesenian
6. Sistem mata pencaharian hidup
7. Sistem teknologi dan peralatan.
Unsur-unsur universal dari kebudayan tersebut menunjukan ruang lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Unsur-unsur universal dari kebudayaan tersebut oleh Ralph Linton, dapat dijabarkan kembali dalam unsur-unsur yang lebih kecil dan menyebutnya sebagai kegiatan-kegiatan kebudayaan atau Cultural Activities. Kegiatan-kegiatan kebudayaan tersebut mempunyai unsur tersendiri yang disebut dengan trait-complex. Selanjutnya trait-complex tersebut dapat dipecah-pecah lagi menjadi unsur kebudayaan yang paling kecil dan disebut Items (Linton dalam Soekanto, 1990: 176-177).
Melihat unsur-unsur kebudayaan yang telah diuraikan di atas, upacara adat ngalaksa ini dapat dikatakan sebagai sebuah kebudayaan, karena dalam upacara adat ngalaksa ini terdapat unsur-unsur universal dari kebudayaan. Upacara adat ngalaksa pada intinya adalah suatu cara untuk menghormati dan berterimakasih kepada Tuhan YME karena telah di beri hasil panen yang berlimpah, dengan demikian upacara adat ngalaksa dapat tergolong kepada sistem religi atau upacara keagamaan. Selain itu, di dalam upacara adat ngalaksa juga terdapat berbagai simbol-simbol sosial secara tersirat yang bermanfaat bagi kehidupan bermasyarakat.
Pembahasan mengenai kebudayaan Sunda terdapat dalam buku Kebudayaan Sunda (Suatu Pendekatan Sejarah) Jilid I karya Edi S.Ekadjati (2005), dalam buku ini dijelaskan tentang kebudayaan dan adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang Sunda melalui pendekatan sejarah. Menurut R.W.Van Bammelan dalam Edi S.Ekadjati (2005: 1-2), Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur. Pendapat dari R.W.Van Bammelan tentang Sunda tersebut lebih mengacu kepada letak geografis suatu wilayah yang di mulai dari Kepulauan Filipina sampai ke Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dalam buku-buku tentang ilmu bumi juga dikenal istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Yang dimaksud Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah deretan pulau yang berukuran lebih kecil dan terletak di sebelah timur Pulau Jawa, dimulai dari Pulau Bali di sebelah barat hingga Pulau Timor di sebelah timur meliputi Pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Samba, Roti dan lain-lain.
Menurut data sejarah, istilah Sunda adalah nama suatu kerajaan yang berada di bagian barat Pulau Jawa. Hal tersebut dapat dilihat pada sebuah prasasti yang bernama Prasasti Juru Rukyan Juru Pangambat, berangka tahun 854 Saka (932 M), ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor (Ekadjati, 2005: 2). Prasasti yang berbahasa melayu kuna ini menyebutkan:...ba[r] pulihkan haji Sunda... Bagian kalimat ini dapat diterjemahkan: “memulihkan Raja Sunda” (Notosusanto, 1993: 356).
Kerajaan Sunda ini mengalami beberapa kali perpindahan pusat kerajaan, perpindahan tersebut dikarenakan beberapa alasan seperti ekonomi, keamanan, politik, dan bencana alam atau hal lainnya. Sehingga yang menjadi terkenal pada Kerajaan Sunda ini adalah nama-nama ibukotanya saja, terutama yang pernah menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Sunda tersebut. Seperti pernyataan yang dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1993) dalam buku Sejarah Nasioanal Indonesia II, yaitu:

“Sebenarnya di Jawa Barat hanya terdapat sebuah kerajaan saja setelah keruntuhan kerajaan Tarumanegara menjelang akhir abad VII Masehi, sedangkan nama-nama yang sekarang dianggap sebagai nama kerajaan, adalah nama ibukota atau pusat kerajaan tersebut” (1993: 355).

Kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa Barat seperti, Kerajaan Galuh, Prahajyan Sunda, Kawali, dan Pakwan Pajajaran adalah nama-nama pusat pemerintahan saja. Sedangkan kerajaan yang sesungguhnya adalah bernama kerajaan Sunda.
Dalam perkembangan lain pada saat sekarang, istilah Sunda digunakan pula untuk menyebut sekolompok manusia, yaitu dengan sebutan urang Sunda (orang Sunda). Orang Sunda adalah orang yang mengakui dirinya dan diakui oleh orang lain sebagai orang Sunda (Warnaen dalam Ekadjati, 2005: 7). Orang Sunda bisa dikatakan orang Sunda jika mempunyai hubungan darah atau keturunan dari orang Sunda itu sendiri, atau dibesarkan di lingkungan sosial-budaya Sunda dan dalam hidupnya menghayati serta mempergunakan norma-norma dan nilai-nilai budaya Sunda. Dengan demikian, yang dimaksud dengan Kebudayaan Sunda adalah kebudayaan yang hidup, tumbuh, dan berkembang di kalangan orang Sunda yang pada umumnya berdomisili di Tanah Sunda (Ekadjati, 2005: 8).
Upacara adat ngalaksa termasuk kepada Kebudayaan Sunda, karena upacara adat ngalaksa ini berada di daerah Kecamatan Rancakalong yang merupakan bagian dari Kabupaten Sumedang. Sedangkan Sumedang itu sendiri merupakan bekas wilayah dari kerajaan Sunda, karena sesudah kerajaan Sunda runtuh, wilayahnya terbagai atas: Sumedanglarang, Banten, Cirebon, dan Galuh, yang masing-masing berdiri sediri (Ekadjati, 2005: 7). Sumedang Larang dan Galuh kemudian menjadi satu wilayah kesatuan dengan nama Priangan. Selain itu, dalam upacara adat ngalaksa juga terdapat pantun-pantun yang menggunakan bahasa Sunda asli, dan seluruh aspek yang ada dalam upacara tersebut semuanya bernuansa Sunda.
Pembahasan selanjutnya mengenai kebudayaan Sunda ada pada tulisan Harsojo (2004) yang berjudul Kebudayaan Sunda. Tulisan Harsojo tersebut terdapat pada buku yang berjudul Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, yang dieditori oleh Koentjaraningrat. Dalam tulisan tersebut pembahasan Kebudayaan Sunda dilakukan dengan cara mengidentifikasi bahasa dan kesusastraannya. Karena dengan mengidentifikasi hal tersebut, Harsojo dapat menarik suatu kesimpulan bahwa Kebudayaan Sunda telah tergambarkan dalam bahasa, cerita, sastra, dan keseniannya. Dengan melihat bahasa dan keseniannya, dan dari sikapnya sehari-hari dapat kita gambarkan tipe ideal orang Sunda sebagai manusia yang optimis, suka dan mudah gembira, memiliki watak terbuka, tetapi sering bersifat terlalu perasa, sehingga tampak sebagai orang yang sedang pundung (Harsojo dalam Koentjaraningrat, 2004: 310).
Kebudayaan Sunda ini bersifat turun-menurun dari generasi sebelumnya ke generasi berikutnya. Dengan demikian Kebudayaan Sunda tersebut merupakan warisan yang diturunkan dari nenek moyang orang Sunda itu. Seperti kebudayaan yang lain, kebudayaan Sunda juga merupakan kekayaan akal budi yang dihasilkan suatu generasi yang dapat dikembangkan oleh generasi itu sendiri dan generasi selanjutnya (Saini dalam Nalan, 1998: 2).

Sabtu, 14 Februari 2009

Sejarah Sumedang

Kerajaan Sumedang Larang adalah salah satu kerajaan Islam yang diperkirakan berdiri sejak abad ke-15 Masehi di Jawa Barat, Indonesia. Popularitas kerajaan ini tidak sebesar popularitas kerajaan Demak, Mataram, Banten dan Cirebon dalam literatur sejarah kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Tapi, keberadaan kerajaan ini merupakan bukti sejarah yang sangat kuat pengaruhnya dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, sebagaimana yang dilakukan oleh Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.
Kerajaan Sumedang Larang (kini Kabupaten Sumedang) adalah salah satu dari berbagai kerajaan Sunda yang ada di provinsi Jawa Barat, Indonesia. Terdapat kerajaan Sunda lainnya seperti Kerajaan Pajajaran yang juga masih berkaitan erat dengan kerajaan sebelumnya yaitu (Kerajaan Sunda-Galuh), namun keberadaan Kerajaan Pajajaran berakhir di wilayah Pakuan, Bogor, karena serangan aliansi kerajaan-kerajaan Cirebon, Banten dan Demak (Jawa Tengah). Sejak itu, Sumedang Larang dianggap menjadi penerus Pajajaran dan menjadi kerajaan yang memiliki otonomi luas untuk menentukan nasibnya sendiri.
Pemerintahan Yang Pernah berkuasa di Sumedang
1 Kerajaan Sumedang Larang 900 - 1601
2 Pemerintahan Mataram II 1601 - 1706
3 Pemerintahan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) 1706 - 1811
4 Pemerintahan Inggris 1811 - 1816
5 Pemerintahan Belanda / Nederland Oost-Indie 1816 - 1942
6 Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
7 Pemerintahan Republik Indonesia 1945 - 1947
8 Pemerintahan Republik Indonesia / Belanda 1947 - 1949
9 Pemerintahan Negara Pasundan 1949 - 1950
10 Pemerintahan Republik Indonesia 1950 - sekarang
Kerajaan Sumedang Larang berasal dari pecahan kerajaan Sunda-Galuh yang beragama Hindu, yang didirikan oleh Prabu Aji Putih atas perintah Prabu Suryadewata sebelum Keraton Galuh dipindahkan ke Pajajaran, Bogor. Seiring dengan perubahan zaman dan kepemimpinan, nama Sumedang mengalami beberapa perubahan. Yang pertama yaitu Kerajaan Tembong Agung (Tembong artinya nampak dan Agung artinya luhur) dipimpin oleh Prabu Guru Aji Putih pada abad ke XII. Kemudian pada masa zaman Prabu Tajimalela, diganti menjadi Himbar Buana, yang berarti menerangi alam, Prabu Tajimalela pernah berkata “Insun medal; Insun madangan”. Artinya Aku dilahirkan; Aku menerangi. Kata Sumedang diambil dari kata Insun Madangan yang berubah pengucapannya menjadi Sun Madang yang selanjutnya menjadi Sumedang. Ada juga yang berpendapat berasal dari kata Insun Medal yang berubah pengucapannya menjadi Sumedang dan Larang berarti sesuatu yang tidak ada tandingnya.
Pemerintahan berdaulat
Nama-Nama Raja dan Bupati Sumedang
1 Nama Raja-raja Kerajaan Sumedang Larang
a Prabu Guru Aji Putih 900
b Prabu Agung Resi Cakrabuana / Prabu Taji Malela 950
c Prabu Gajah Agung 980
d Sunan Guling 1000
e Sunan Tuakan 1200
f Nyi Mas Ratu Patuakan 1450
g Ratu Pucuk Umun / Nyi Mas Ratu Dewi Inten Dewata 1530 - 1578
h Prabu Geusan Ulun / Pangeran Angkawijaya 1578 - 1601
2 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan Mataram II
a R. Suriadiwangsa / Pangeran Rangga Gempol I 1601 - 1625
b Pangeran Rangga Gede 1625 - 1633
c Pangeran Rangga Gempol II 1633 - 1656
d Pangeran Panembahan / Pangeran Rangga Gempol III 1656 - 1706
3 Nama Bupati Wedana Masa Pemerintahan VOC, Inggris, Belanda dan Jepang
a Dalem Tumenggung Tanumaja 1706 - 1709
b Pangeran Karuhun 1709 - 1744
c Dalem Istri Rajaningrat 1744 - 1759
d Dalem Anom 1759 - 1761
e Dalem Adipati Surianagara 1761 - 1765
f Dalem Adipati Surialaga 1765 - 1773
g Dalem Adipati Tanubaja (Parakan Muncang) 1773 - 1775
h Dalem Adipati Patrakusumah (Parakan Muncang) 1775 - 1789
i Dalem Aria Sacapati 1789 - 1791
j Pangeran Kornel / Pangeran Kusumahdinata 1791 - 1800
k Bupati Republik Batavia Nederland 1800 - 1810
l Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Lodewijk, Adik Napoleon Bonaparte 1805 - 1810
m Bupati Kerajaan Nederland, dibawah Kaisar Napoleon Bonaparte 1810 - 1811
n Bupati Masa Pemerintahan Inggris 1811 - 1815
o Bupati Kerajaan Nederland 1815 - 1828
p Dalem Adipati Kusumahyuda / Dalem Ageung 1828 - 1833
q Dalem Adipati Kusumahdinata / Dalem Alit 1833 - 1834
r Dalem Tumenggung Suriadilaga / Dalem Sindangraja 1834 - 1836
s Pangeran Suria Kusumah Adinata / Pangeran Soegih 1836 - 1882
t Pangeran Aria Suria Atmaja / Pangeran Mekkah 1882 - 1919
u Dalem Adipati Aria Kusumahdilaga / Dalem Bintang 1919 - 1937
v Dalem Tumenggung Aria Suria Kusumah Adinata / Dalem Aria Sumantri 1937 - 1942
w Bupati Masa Pemerintahan Jepang 1942 - 1945
x Bupati Masa Peralihan Republik Indonesia 1945 - 1946
4 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1946 - 1947
5 Bupati Masa Pemerintahan Belanda / Indonesia
a Raden Tumenggung M. Singer 1947 - 1949
6 Bupati Masa Pemerintahan Negara Pasundan
a Raden Hasan Suria Sacakusumah 1949 - 1950
7 Bupati Masa Pemerintahan Republik Indonesia
a Radi (Sentral Organisasi Buruh Republik Indonesia) 1950
b Raden Abdurachman Kartadipura 1950 - 1951
c Sulaeman Suwita Kusumah 1951 - 1958
d Antan Sastradipura 1958 - 1960
e Muhammad Hafil 1960 - 1966
f Adang Kartaman 1966 - 1970
g Drs. Supian Iskandar 1970 - 1972
h Drs. Supian Iskandar 1972 - 1977
i Drs. Kustandi Abdurahman 1977 - 1983
j Drs. Sutarja 1983 - 1988
k Drs. Sutarja 1988 - 1993
l Drs. H. Moch. Husein Jachja Saputra 1993 - 1998
m Drs. H. Misbach 1998 - 2003
n H. Don Murdono,SH. Msi 2003 - 2008
o H. Don Murdono,SH. Msi 2008 - 2013

Sabtu, 31 Januari 2009

Silsilah Kerajaan Sunda Galuh

1. TARUSBAWA (670 – 723 M) Maharaja Tarusbawa kemudian mendirikan ibukota kerajaan yang baru, di daerah pedalaman dekat hulu Cipakancilan. Dalam cerita Parahiyangan, tokoh Tarusbawa ini hanya disebut dengan gelarnya: Tohaan di Sunda (Raja Sunda). Ia menjadi cikalbakal raja-raja Sunda dan memerintah sampai tahun 723 M. Karena putera mahkota wafat mendahului Tarusbawa, maka anak wanita dari putera mahkota (bernama Tejakancana) diangkat sebagai anak dan ahli waris kerajaan.Suami puteri inilah yang dalam tahun 723 menggantikan Tarusbawa menjadi Raja Sunda.
2. Sanjaya / Rakeyan Jamri / Prabu Harisdama (723 – 732M) Cicit Wretikandayun ini bernama Rakeyan Jamri. Sebagai penguasa Kerajaan Sunda ia dikenal dengan nama Prabu Harisdarma dan kemudian setelah menguasai Kerajaan Galuh ia lebih dikenal dengan Sanjaya. Ibu dari Sanjaya adalah SANAHA, cucu Maharani SIMA dari Kalingga, di Jepara. Ayah dari Sanjaya adalah Bratasenawa / SENA / SANNA, Raja Galuh ketiga, teman dekat Tarusbawa. Sena adalah cucu Wretikandayun dari putera bungsunya, Mandiminyak, raja Galuh kedua (702-709 M). Sena di tahun 716 M dikudeta dari tahta Galuh oleh PURBASORA. Purbasora dan Sena sebenarnya adalah saudara satu ibu, tapi lain ayah. Sena dan keluarganya menyelamatkan diri ke Pakuan, pusat Kerajaan Sunda, dan meminta pertolongan pada Tarusbawa. Ironis sekali memang, Wretikandayun, kakek Sena, sebelumnya menuntut Tarusbawa untuk memisahkan Kerajaan Galuh dari Tarumanegara / Kerajaan Sunda.Dikemudian hari, Sanjaya yang merupakan penerus Kerajaan Galuh yang sah, menyerang Galuh, dengan bantuan Tarusbawa, untuk melengserkan Purbasora. Setelah itu ia menjadi Raja Kerajaan Sunda Galuh. Sebagai ahli waris Kalingga, SANJAYA kemudian menjadi penguasa Kalingga Utara yang disebut Bumi MATARAM dalam tahun 732 M. Dengan kata lain, Sanjaya adalah penguasa Sunda, Galuh dan Kalingga / Kerajaan Mataram (Hindu). Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada puteranya dari Tejakencana, yaitu Tamperan atau Rakeyan Panaraban.
3. Tamperan Barmawijaya / Rakeyan Panaraban (732 - 739 M) Ia adalah kakak seayah Rakai Panangkaran, Raja Kerajaan Mataram (Hindu) ke 2, putera Sanjaya dari Sudiwara puteri Dewasinga Raja Kalingga Selatan atau Bumi SAMBARA.
4. Rakeyan Banga (739-766 M).
5. Rakeyan Medang Prabu Hulukujang (766-783 M).
6. Prabu Gilingwesi, menantu no. 5,(783-795 M).
7. Pucukbumi Darmeswara, menantu no. 6, (795-819 M).
8. Prabu Gajah Kulon Rakeyan Wuwus (819-891 M).
9. Prabu Darmaraksa (adik-ipar no. 8, 891 - 895 M).
10. Windusakti Prabu Dewageng (895 - 913 M).
11. Rakeyan Kemuning Gading Prabu Pucukwesi (913-916 M).
12. Rakeyan Jayagiri Prabu Wanayasa, menantu no. 11, (916-942 M).
13. Prabu Resi Atmayadarma Hariwangsa (942-954 M).
14. Limbur Kancana,putera no. 11,(954-964 M).
15. Prabu Munding Ganawirya (964-973 M).
16. Prabu Jayagiri Rakeyan Wulung Gadung (973 - 989 M).
17. Prabu Brajawisesa (989-1012 M).
18. Prabu Dewa Sanghyang (1012-1019M).
19. Prabu Sanghyang Ageng (1019 - 1030 M), berkedudukan di Galuh.
20. Prabu Detya Maharaja Sri Jayabupati (1030‚ - 1042 M ), berkedudukan di Pakuan. Pada masa itu Sriwijaya / orang Melayu menjadi momok yang menakutkan. Kerajaan Sunda Galuh untuk menghindari konflik dengan Sriwijaya, melakukan hubungan pernikahan antara raja ke 19, Prabu Sanghyang Ageng (Ayah dari Sri Jayabupati) dengan putri Sriwijaya. Jadi ibu Sri Jayabupati adalah seorang puteri Sriwijaya dan masih kerabat dekat Raja WURAWURI. Permaisuri Sri Jayabupati adalah puteri Dharmawangsa (adik Dewi LAKSMI isteri AIRLANGGA). Karena pernikahan tersebut Jayabupati mendapat anugerah gelar dari mertuanya (DHARMAWANGSA). Gelar itulah yang dicantumkannya dalam Prasasti Cibadak. Raja Sri Jayabupati pernah mengalami peristiwa tragis. Dalam kedudukannya sebagai Putera Mahkota Sunda keturunan Sriwijaya dan menantu Darmawangsa, ia harus menyaksikan permusuhan yang makin menjadi-jadi antara Sriwijaya dengan mertuanya (Dharmawangsa). Pada puncak krisis ia hanya menjadi 'penonton' dan terpaksa tinggal diam dalam kekecewaan karena harus 'menyaksikan' Darmawangsa diserang dan dibinasakan oleh raja Wurawuri atas dukungan Sriwijaya. Ia diberi tahu akan terjadinya serbuan itu oleh pihak Sriwijaya, akan tetapi ia dan ayahnya 'diancam' agar bersikap netral dalam hal ini. Serangan Wurawuri yang dalam Prasasti Calcuta disebut Pralaya itu terjadi tahun 1019 M. Sriwijaya sendiri musnah di tahun 1025 karena serangan Kerajaan Chola dari India. Tahun 1088, Kerajaan Melayu Jambi, menaklukan Sriwijaya, dan berkuasa selama dua ratus tahun. Dua abad kemudian, kedua kerajaan tersebut menjadi taklukan kerajaan Singhasari di era Raja Kertanegara, dengan mengirimkan Senopati Mahisa / Kebo / Lembu ANABRANG, dalam ekspedisi PAMALAYU 1 dan 2, dengan pertimbangan untuk mengamankan jalur pelayaran di selat Malaka yang sangat rawan Bajak Laut setelah runtuhnya Sriwijaya di tahun 1025. Mahisa Anabrang yang menikah dengan DARA JINGGA (anak dari Raja Kerajaan Melayu Jambi, MAULIWARMADHEWA), adalah ayah dari Adityawarman, pendiri Kerajaan Pagaruyung. Dara Jingga dikenal juga sebagai BUNDO KANDUANG dalam hikayat Kerajaan Pagaruyung atau Minangkabau. Mungkin istilah MINANG-KABAU berasal dari adanya KEBO (KEBO / Mahisa / Lembu ANABRANG) yang me-MINANG putri Raja Kerajaan Dharmasraya / Kerajaan Melayu Jambi.
21. Raja Sunda ke 21 berkedudukan di Galuh
22. Raja Sunda ke 22 berkedudukan di Pakuan
23. Raja Sunda ke 23 berkedudukan di Pakuan
24. Raja Sunda ke-24 memerintah di Galuh
25. PRABU GURU DHARMASIKSA, mula-mula berkedudukan di Saunggalah, kemudian pindah ke Pakuan.
26. RAKEYAN JAYADARMA, berkedudukan di Pakuan. Menurut PUSTAKA RAJYARAJYA i BHUMI NUSANTARA parwa II sarga 3: RAKEYAN JAYADARMA adalah menantu MAHISA CAMPAKA di Jawa Timur karena ia berjodoh dengan putrinya MAHISA CAMPAKA bernama DYAH SINGAMURTI alias DYAH LEMBU TAL. Mahisa Campaka adalah anak dari MAHISA WONGATELENG, yang merupakan anak dari KEN ANGROK dan KEN DEDES dari kerajaan SINGHASARI. Rakeyan Jayadarma dan Dyah Lembu Tal berputera SANG NARARYA SANGGRAMAWIJAYA atau lebih dikenal dengan nama RADEN WIJAYA (lahir di PAKUAN). Dengan kata lain, Raden Wijaya adalah turunan ke 4 dari Ken Angrok dan Ken Dedes. Karena Jayadarma wafat dalam usia muda, Lembu Tal tidak bersedia tinggal lebih lama di Pakuan. Akhirnya Wijaya dan ibunya diantarkan ke Jawa Timur. Dalam BABAD TANAH JAWI, Wijaya disebut pula JAKA SUSURUH dari PAJAJARAN yang kemudian menjadi Raja MAJAPAHIT yang pertama. Kematian Jayadarma mengosongkan kedudukan putera mahkota karena Wijaya berada di Jawa Timur. Jadi, sebenarnya, RADEN WIJAYA, Raja MAJAPAHIT pertama, adalah penerus sah dari tahta Kerajaan Sunda yang ke-27.
27. Prabu Ragasuci (1297 – 1303M) berkedudukan di Saunggalah dan dipusarakan di Taman, Ciamis. Ragasuci sebenarnya bukan putera mahkota karena kedudukanya itu dijabat kakaknya RAKEYAN JAYADARMA. Permaisuri Ragasuci adalah DARA PUSPA (Puteri Kerajaan Melayu) adik DARA KENCANA isteri KERTANEGARA, dari kerajaan SINGHASARI di Jawa Timur.
28. Prabu Citraganda (1303 – 1311 M), berkedudukan di Pakuan. Ketika wafat ia dipusarakan di Tanjung.
29. Prabu Lingga Dewata (1311 – 1333), berkedudukan di Kawali.
30. Prabu Ajiguna Wisesa (1333 - 1340), berkedudukan di Kawali, adalah menantu Prabu Lingga Dewata. Sampai tahun 1482 pusat pemerintahan tetap berada di sana. Bisa dikatakan bahwa tahun 1333 - 1482 adalah ZAMAN KAWALI dalam sejarah pemerintahan di Jawa Barat dan mengenal 5 orang raja. Lain dengan Galuh, nama Kawali terabadikan dalam dua buah prasasti batu peninggalan PRABU RAJA WASTU yang tersimpan di "ASTANA GEDE" Kawali. Dalam prasasti itu ditegaskan "mangadeg di kuta Kawali" (bertahta di kota Kawali) dan keratonnya disebut SURAWISESA yang dijelaskan sebagai "Dalem sipawindu hurip" (keraton yang memberikan ketenangan hidup).
31. Prabu Maharaja Lingga Buana (1340 – 1357).
32. MANGKUBUMI SURADIPATI atau PRABU BUNISORA, adik Prabu Lingga Buana. Ada yang menyebut PRABU KUDA LALEAN. Dalam BABAD PANJALU (Kerajaan Panjalu Ciamis) disebut PRABU BOROSNGORA. Selain itu ia pun dijuluki BATARA GURU di Jampang karena ia menjadi pertapa dan resi yang ulung).
33. Prabu Raja Wastu atau Niskala Wastu Kancana(1371-1475). Beliau adalah anak Prabu Lingga Buana, dinobatkan menjadi raja pada tahun 1371 pada usia 23 tahun. Permaisurinya yang pertama adalah LARA SARKATI puteri Lampung. Dari perkawinan ini lahir SANG HALIWUNGAN (setelah dinobatkan menjadi Raja Sunda bergelar PRABU SUSUKTUNGGAL). Permaisuri yang kedua adalah MAYANGSARI puteri sulung Bunisora atau Mangkubumi Suradipati. Dari perkawinan ini lahir NINGRAT KANCANA (setelah menjadi penguasa Galuh bergelar PRABU DEWA NISKALA). Setelah Wastu Kancana wafat tahun 1475, kerajaan dipecah dua diantara Susuktunggal dan Dewa Niskala dalam kedudukan sederajat. Politik kesatuan wilayah telah membuat jalinan perkawinan antar cucu Wastu Kencana. JAYADEWATA, putera Dewa Niskala mula-mula memperistri AMBETKASIH (puteri KI GEDENG SINDANGKASIH). Kemudian memperistri SUBANGLARANG (puteri KI GEDENG TAPA yang menjadi Raja Singapura). Subanglarang ini keluaran pesantren Pondok QURO di PURA, Karawang. Ia seorang wanita muslim murid SYEKH HASANUDIN yang menganut MAHZAB HANAFI. Pesantren Qura di Karawang didirikan tahun 1416 dalam masa pemerintahan Wastu Kancana. Subanglarang belajar di situ selama 2 tahun. Ia adalah nenek SYARIF HIDAYATULLAH. Kemudian memperistri KENTRING MANIK MAYANG SUNDA puteri Prabu Susuktunggal. Jadilah antara Raja Sunda dan Raja Raja Galuh yang seayah ini menjadi besan. Di tahun 1482, Prabu Dewa Niskala menyerahkan Tahta Kerajaan Galuh kepada puteranya Jayadewata. Demikian pula dengan Prabu Susuktungal yang menyerahkan Tahta Kerajaan Sunda kepada menantunya ini (Jayadewata). Dengan peristiwa yang terjadi tahun 1482 itu, kerajaan warisan Wastu Kencana berada kembali dalam satu tangan. JAYADEWATA memutuskan untuk berkedudukan di Pakuan sebagai "Susuhunan" karena ia telah lama tinggal di sini menjalankan pemerintahan sehari-hari mewakili mertuanya. Sekali lagi Pakuan menjadi pusat pemerintahan. Zaman Pajajaran diawali oleh pemerintahan Ratu Jayadewata yang bergelar Sri Baduga Maharaja yang memerintah selama 39 tahun (1482 - 1521). Pada masa inilah Pakuan mencapai puncak perkembangannya.

Naon Cenah Sunda Teh?

Sunda adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menamai dataran bagian barat laut wilayah India Timur. Pendapat dari R. W. Van Bammelan tentang Sunda tersebut lebih mengacu kepada letak geografis suatu wilayah yang dimulai dari Kepulauan Filipina sampai ke Lembah Brahmaputra di Assam (India). Dalam buku-buku tentang ilmu bumi juga dikenal istilah Sunda Besar dan Sunda Kecil. Yang dimaksud Sunda Besar adalah himpunan pulau yang berukuran besar, yaitu Sumatra, Jawa, Madura, dan Kalimantan. Sedangkan Sunda Kecil adalah deretan pulau yang berukuran lebih kecil dan terletak di sebelah timur Pulau Jawa, dimulai dari Pulau Bali di sebelah barat hingga Pulau Timor di ebelah timur meliputi Pulau-pulau Lombok, Flores, Sumbawa, Samba, Roti dan lain-lain.
Menurut data sejarah, istilah Sunda adalah suatu kerajan yang berada di bagian barat Pulau Jawa. Hal tersebut dapat dilihat pada sebuah prasasti yang bernama prasasti juru Rukyan Juru Pangambat, berangka tahun 854 Saka (932 M), ditemukan di Desa Kebon Kopi, Bogor (Ekadjati, 2005 : 2). Prasasti yang berbahasa melayu kuna ini menyebut:...ba[r] pulihkan haji sunda... Bagian kalimat ini dapat diterjemahkan: “memulihkan raja Sunda” (Notosusanto, 1993 : 356).
Budaya Sunda dikenal dengan budaya yang sangat menjujung tinggi sopan santun. Pada umumnya karakter masyarakat sunda, ramah tamah (someah), murah senyum lemah lembut dan sangat menghormati orang tua. Itulah cermin budaya dan kultur masyarakat sunda. Di dalam bahasa Sunda diajarkan bagaimana menggunakan bahasa halus untuk orang tua.